Sabtu, 27 April 2019










Kita adalah dua karsa yang bahkan tak berhak untuk sekadar melontarkan kalimat rindu, karena yang kita butuhkan lebih dulu adalah sebuah temu. Untuk menentukan ingin melangkah maju atau memilih saling memunggungi lantas berlalu

-Elegi

Kamis, 04 April 2019

Elegi 3

Bunyi gemericik air hujan dan segelas green tea menemaniku duduk bersila di teras rumah sambil memandangi kertas origami didepanku. Hawa dingin yang menusuk ke tulang tak ku hiraukan karena isi kepala penuh dengan pertanyaan yang jawabannya tak kunjung ku dapati. Pertanyaan tentang apa maksud  4 kata yang tertulis di kertas origami ini : "kita buat cerita, mau?"
Lantas aku harus apakan? Tidak, tepatnya harus kujawab apa?
Menurut temanku kak ghani tak tersentuh, lantas ini apa. Atau aku yang terlalu percaya diri karena sekilas sempat terbersit kalau dia ingin mendekatiku, sungguh membingungkan sampai tak sadar aku terlelap dan bangun keeesokan paginya, pertanyaan dikepalaku tetap tak terjawab.

Sekolah bukan hanya tempat untuk menuntut ilmu tapi tempat dimana aku bisa menemukan banyak ekspresi orang yang membuatku merasa menemukan jiwa-jiwa berbeda. Berjalan dikoridor menuju perpustakaan untuk membaca sebentar karena jam belajar mengajar masih akan dimulai 30 menit lagi.
Sapaan diiringi senyum merekah ibu Lastri lah yang selalu kudapati setiap kali masuk kedalam perpustakaan ini, tempat yang sudah tidak asing lagi untuk seorang seperti diriku. Menempati bangku di ujung ruangan dekat jendela yang menghadap ke taman, aku duduk di temani novel Semburat senyum sore karyanya Vinca Callisa.
Tak lama berselang ketika sedang asik menyelami kata per kata ada siluet seseorang berdiri di sampingku "hai" ucapnya.
sempat terkejut mengelus dada lalu sadar dan mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang dengan tiba-tiba muncul tanpa permisi. Dan disana dia si mata sehitam jelaga itu sedang berdiri dengan senyumnya yang... aduhaii luar biasa indah ciptaanMu Tuhan.

Dengan gelapan aku berujar menyuruhnya duduk lalu melanjutkan membaca novel yang demi apapun otak sudah tidak sinkron lagi komandan. Antara gugup dan mau lari secepet yang dibisa.
Dia masih tersenyum sambil memperhatikan novel yang kubaca.

"suka senja?", tanyanya.
"eh, iya kak suka hehehe". jawabku
"sama", sambungnya.

Setalahnya hening entah apa yang sedang dia pikirkan yang pasti aku sedang sibuk mengatur ekpresi yang sialnya kenapa membuat tangan jadi gemetar.

"sudah dibaca kertas origaminya?", dia bertanya lagi.
Aku menganggukan kepala "iya sudah kak".
"gimana, mau?" lanjutnya sambil menarik novel yang kupegang. Karena hal itu aku jadi menautkan jari tanganku yang gemetar. Tapi dengan berani aku tatap lurus ke matanya
"kenapa aku?", dahinya mengernyit gemas "apanya?" dia balik bertanya
"orangnya?" jawabku lagi
Dia diam dengan mata kami yang masih saling bertapapan, aku kembali bersuara.
"dari banyaknya perempuan di sekolah ini, kenapa aku?"
Lagi- lagi dia terseyum "karena kamu rara, cewek yang sukanya cuma duduk di taman belakang sambil baca novel".
Aku memang suka baca novel lantas apa hubungannya dengan ajakan dia membuat cerita bersamanya dengan aku yang duduk baca novel di taman belakang, memangnya kegiatanku terlihat membosankan dimatanya hingga harus membuat cerita dengannya.

"bukan membosankan", dia menyentil dahiku,

"lalu?", tanyaku

"menambah cerita baru di hidup mu", ucapnya

Aku semakin bingung, "dengan cara?"

"aku ikut menjadi bagian didalamnya" ujarnya tersenyum kemudian berlalu.

Selalu seperti itu, pergi dengan meninggalkan pertanyaan untuk otakku yang tidak pintar ini

Rabu, 03 April 2019

He is my sea

Di antara hamparan pasir dan air tanpa sekat. Aku melihatnya, dia yang memiliki mata sehitam jelaga, rambut yang sepekat malam dan senyum yang setentram temaram.
Melangkahkan kakinya mendekat lalu menggenggam tangan, menuntun ku berjalan sambil sesekali bertanya "kamu bahagia?" , hal yang seharusnya tak perlu dia tanyakan.

Karena ketika pertama kali semesta mempertemukan kita, aku meyakinkan pada diri bahwa sudah tak ada lagi pilihan.
Sebab yang perlu dilakukan selanjutnya adalah bagaimana kita merangkai masa depan, membuat setiap perjalan hidup kita berkesan meskipun tidak akan semulus yang diharapkan, kita harus tetap saling berpegangan. Meskipun nanti hari-hari mu akan bising karena cerewetku atau sesekali akan berubah senyap karena aku fokus membaca buku, begitu diam sampai kadang malas berucap. Tapi kita akan selalu berakhir dengan saling mendekap erat.

Sabtu, 16 Februari 2019

Elegi 2

Muhammad Dira Arghani, aku mendengar segala tentangnya dari temanku. Dia yang terlihat dingin tapi sangat ramah terhadap siapapun, dia yang selalu bisa mengontrol kelakuan teman-temannya ketika sudah mulai menggila dan dia yang tak pernah terlihat jalan dengan 1 wanita pun.

Ku pikir terlalu membuang waktu untuk terus mendengar mereka (teman-temanku) membicarakan dia, tapi semakin sering telinga di isi cerita ini itu tentang dia, sampai seringnya aku lihat dia duduk di bawah pohon dekat taman dengan buku serta kertas origaminya, padahal semua temannya sedang bernyanyi. Aku lalu terjebak dan mulai merasa penasaran kenapa karakter nya begitu tenang? kenapa seakan dia tidak terganggu dengan suara bising teman-temannya.

Aku terus menepis rasa penasaran itu, semakin berjalannya waktu aku pun mulai masa bodo. Meskipun ada rasa ingin mendekat ketika dia duduk sendiri dan sibuk dengan origaminya.

Sampai tiba satu hari, ketika aku jalan terburu-buru karena mengejar waktu. Bel sebentar lagi berbunyi tapi suara teriakan itu akhirnya mampu memberikan ku.

"hey ra, ini ada salam dari babang ghani"

Itu reza, sudah pasti karena suara begitu menggelegar (kakak kelas satu itu toaknya)

Otomatis langkah ku hentikan, menoleh dan tersenyum tanpa membalas ucapan kak reza lalu aku arahkan mataku untuk melihat kak ghani, dia hanya senyum lalu berucap
"gak usah di dengerin, reza rese. Silahkan jalan lagi"

Aku sempat terpaku, mata itu sehitam jelaga. Tatapannya seakan menawarkan kehangatan dan perlindungan, mata itu terlalu tenang namun sirat akan kenyamanan.
Pipiku bersemu, menundukan kepala lantas melangkah menjauh diiringi kelakar dari teman-teman kak ghani yang menyebalkan itu.

Kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa, sampai tiba waktunya istirahat, aku dan keza teman sebangku ku lansung berjalan menuju kantin dan mengambil posisi duduk di pojok.
Ku buka buku "sajak terakhirku" buku kumpulan puisi-puisiku. Menulis dan larut sampai ada seseorang berdiri menghalangi pandangan, spontan aku menengadah dan betapa terkejut nya aku ketika kak ghani berdiri di sana dengan pandangan teduh dan senyuman yang... manis banget.

Dia meletakkan sebotol minuman dengan 1 origami di bawahnya
"di minum ya" lalu pergi setelahnya.

Aku masih diam kaku, duduk tegap lalu mengambil kertas origami itu, ku buka lalu di dalamnya ada tulisan...




Sabtu, 24 November 2018

Gurat Merah Senja

Semua masih terlihat sama. Kemacetan ini membuatku menepis sedikit peluh keringat di dahi. Sungguh gila, jakarta kapan berubah?

Berbagai jenis manusia berlalu lalang dengan kegiatan masing-masing. Mataku masih terus menatap setiap inci titik kota ini.
Kota yang membuatku kembali merasakan detakan itu lagi
Dan semua tentangnya berawal dari sini. Di kota ini.

Laju mobil berhenti secara perlahan, disebuah rumah dengan cat tembok yang sudah sedikit pudar. Namun, masih terlihat sejuk.
Aku menyeka buliran air yang jatuh di pipiku. Semua tentangnya, masih membuat yang didalam sini berdetak tak karuan. Bahkan, hanya dengan melihat rumahnya saja.

Ini sudah cukup lama, namun nyatanya apa yang telah dia berikan selama ini cukup berpengaruh dalam hidupku sampai saat ini.

Semua tentang dia, masih tersusun rapih didalam sini.
Karena...
Dia, yang telah mengambil seluruh isi hatiku mulai senja itu, ditemani dengan secangkir kopi favoritnya.

Dengan perlahan, tanganku bergerak membuka pagar hitam yang sudah berkarat itu.
Setelahnya aku hanya bisa berdiri kaku menatap kosong pintu rumah di depanku saat ini.

"Hay Gha.. kamu, apa kabar?".







Sabtu, 04 Agustus 2018

Tertatih

Untukmu jiwa yang teguh tapi ternyata rapuh, bertahanlah untuk sesuatu apapun yang sedang kau tempuh. Kala dimana mereka meneriaki kata benci, lemparlah dengan sebuah senyuman secerah mentari pagi.

Untukmu jiwa yang diam-diam terisak hebat, lupakan segala ucapan penimbul luka yang pernah melekat. Buatlah mereka melihat, bahwa kau masih salah satu dari jiwa yang kuat.

Untukmu jiwa yang merunduk dikesunyian pagi tiada henti, dengan segala pengharapan yang diingini. Semesta akan merengkuhmu dengan syahdu, diiringi doa ibu bersama bonus seseorang yang akan menjadi satu denganmu di satu waktu.


       
                                                           

Sabtu, 12 Mei 2018

Bukan aku, tapi dia!

Dibawah rintik hujan, logika tetap berkelana kepada seseorang yang terus berputar dikepala. Kilasan memori seakan kembali menyapa, tentang kita yang tak lagi ada. 
Aku yang terluka, masih keras kepala bahwa kamu bukanlah penyebabnya. 
Entah, untuk yang keberapa kalinya meyakinkan bahwa semua bukanlah sekedar jeda.
Aku adalah wanita yang tau diri dan itu selalu aku katakan pada siapapun yang aku sayangi. Aku tak pernah membuatmu terbebani karena aku mencoba mengerti, bahwa aku tidak harus menjadi opsi pertama yang harus kamu dahului.  Hingga sampai di satu titik sadar dimana ini adalah aku yang tak mengerti atau kamu yang pandai membodohi?

Meredam isak, menahan gemetar dan tersenyum getir. Ketika matamu melihatku, pada kenyataannya hati dan bibirmu mendoakan dia 







Kita adalah dua karsa yang bahkan tak berhak untuk sekadar melontarkan kalimat rindu, karena yang kita butuhkan lebih dulu adalah sebuah te...